Menurut penuturan Yuliana Boimau dan sejumlah pekerja, ketidaksesuaian antara RAB yang disosialisasikan dengan realisasi pekerjaan fisik di lapangan menjadi sumber utama permasalahan. Dalam RAB yang mereka ketahui, proyek rabat beton tersebut memiliki spesifikasi lebar 1,5 meter, panjang 75 meter, dan tebal 0,15 meter, dengan perhitungan volume per meter upah yang harus dibayar sebesar Rp72.500. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat telah bekerja keras membangun rabat beton dengan dimensi yang jauh lebih besar, yakni lebar 3 meter, panjang 120 meter, dan tebal 0,15 meter.
"Kami merasa dibohongi dan diperlakukan tidak adil. Kami sudah bekerja melebihi target yang seharusnya, tetapi upah yang tertera di dalam RAB tidak manusiawi dan tidak sebanding dengan keringat dan tenaga yang telah kami curahkan," ujar Yuliana Boimau, seorang pekerja Desa Oemanan, dengan nada geram saat dihubungi awak media melalui sambungan telepon seluler.
Yuliana mempertanyakan, jika memang RAB yang berlaku adalah seperti yang disebutkan, mengapa warga dipaksa untuk bekerja melebihi ketentuan tersebut? Ia menduga adanya praktik penyimpangan dan penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu di pemerintahan desa.
Lebih lanjut, Yuliana Boimau juga mengeluhkan bahwa upah belum diterima hingga saat ini, sudah lima tahun lamanya. Mereka mengaku telah bekerja keras selama hampir satu bulan penuh, dengan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Pekerjaan pengecoran dilakukan secara manual tanpa bantuan alat berat seperti molen, sehingga membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang lebih lama.
"Kami, para mama-mama, termasuk janda-janda, telah berjuang sekuat tenaga untuk menyelesaikan proyek ini demi kemajuan desa kami. Namun, setelah selesai bekerja, kami belum menerima upah kami. Jika dihitung sesuai RAB yang ada, maka kami para pekerja setiap orang akan dibayar sebesar Rp200 ribu per orang selama satu bulan penuh. Ini sangat tidak manusiawi dan tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah kami berikan," keluh Yuliana dengan nada sedih.
Warga juga menyayangkan sikap Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) desa yang dinilai tidak transparan dan tertutup. Selama proses pengerjaan proyek, TPK tidak pernah menunjukkan RAB kepada warga, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa RAB yang ada saat ini adalah "RAB siluman" atau RAB palsu yang sengaja dibuat untuk menutupi praktik korupsi.
Para pekerja berharap agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dapat segera turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan sanksi tegas kepada oknum-oknum yang terlibat. Mereka juga mendesak agar TPK dan bendahara desa segera dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban atas dugaan penyelewengan anggaran dan ketidakadilan dalam pembayaran upah HOK.
"Kami berharap Camat, Bupati, Gubernur, dan bahkan Bapak Presiden dapat mendengar jeritan hati kami, masyarakat kecil yang telah ditipu dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah desa Oemanan dan TPK desa Oemanan. Kami ingin keadilan ditegakkan dan hak-hak kami dikembalikan," tegas Yuliana dengan nada penuh harap.
Sementara itu, Kepala Dinas PMD Kabupaten TTS, Christian Tlonaen, yang ditemui awak media mengatakan bahwa untuk semua pekerjaan fisik, baik rabat maupun pekerjaan lain, hak para pekerja adalah yang utama, apalagi para pekerja adalah warga sendiri. "Kami pasti akan mengusahakan hak mereka,ini adalah kesalahan dari TPK" ujar Christian.
Polemik upah HOK dan dugaan manipulasi RAB proyek rabat beton di Desa Oemanan ini menjadi potret buram tata kelola pemerintahan desa yang belum transparan dan akuntabel. Kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk lebih meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolaan keuangan desa, serta menindak tegas segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. (marfin )
