Penulis oleh Rhey Natonis
Pegiat Media
TTS.PenaKita.Info- Penyerahan SK CPNS kepada 549 orang di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) pada 30 Juni 2025 seharusnya menjadi hari penuh harapan bagi masyarakat lokal. Tapi kenyataannya, justru menimbulkan tanya besar dan rasa getir, ke mana semangat otonomi daerah yang selama ini didengungkan?
Dari 541 orang yang menerima SK, ironisnya, hanya sekitar seratus lebih yang merupakan anak daerah TTS. Ini bukan sekedar angka ini adalah indikator kegagalan sistemik dalam membela dan memprioritaskan putra-putri daerahnya sendiri. Kita tidak bicara soal diskriminasidan primordial kita bicara tentang keadilan distribusi peluang dan bentuk nyata komitmen terhadap pembangunan berbasis kearifan lokal.
Bagaimana mungkin sebuah daerah yang dikenal dengan angka pengangguran tinggi, tidak mampu memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat lokal untuk mengisi formasi ASN di rumahnya sendiri? Apakah SDM lokal TTS begitu tidak layak? Atau justru sistem rekrutmen yang tak berpihak, yang telah gagal menciptakan akses dan keberpihakan bagi masyarakat asli?.
Lebih miris lagi, TTS kini seolah menjadi “lahan kerja sementara” sekadar batu loncatan bagi CPNS dari luar daerah yang mungkin hanya menunggu waktu mutasi, pindah ke kota, atau daerah asal setelah masa pengabdian minimal berlalu. Kita patut bertanya: akankah mereka benar-benar mengabdi dengan hati untuk TTS, atau hanya sekadar “menunggu waktu” sembari menikmati gaji dan fasilitas daerah tertinggal?
Pemerintah Kabupaten TTS dalam hal ini terlihat gagap dalam menerjemahkan makna otonomi daerah, yakni memberi prioritas, proteksi, dan akses lebih kepada masyarakatnya dalam berbagai lini, terutama dalam struktur birokrasi dan pelayanan publik. Jika daerah tidak bisa menjadi rumah dan tempat bertumbuh bagi warganya sendiri, untuk apa otonomi diberikan?
Apa yang dibutuhkan adalah kebijakan afirmatif. Pemda TTS seharusnya menelurkan sebuah regulasi yang memprioritaskan anak daerah dalam rekrutmen ASN, tanpa mengorbankan kualitas dan integritas. Tanpa langkah konkrit dan proteksi kebijakan seperti itu, jangan heran jika di masa depan birokrasi TTS justru kian terasing dari masyarakat yang dilayaninya.
Lebih dari sekedar seremoni penyerahan SK dan pidato normatif, yang dibutuhkan adalah nyali politik untuk merancang masa depan TTS yang berpihak pada rakyatnya sendiri. Bila tidak, maka setiap CPNS dari luar akan terus datang, menumpang hidup, lalu pergi… sementara anak-anak asli TTS akan tetap menjadi penonton dari pinggir, bahkan di tanah kelahirannya sendiri.
TTS butuh keberanian, bukan basa-basi. Butuh keberpihakan, bukan sekedar kebanggaan statistik.
Lebih jauh, pertanyaan mendasar pun mengemuka: Apakah ke depan Pemerintah Kabupaten TTS hanya akan terus bersembunyi di balik dalih “aturan pusat,” atau mau belajar dari contoh daerah lain yang berani mengambil kebijakan afirmatif?
Lihatlah Papua, mereka dengan tegas menerapkan kebijakan rekrutmen ASN yang memprioritaskan 80 persen formasi untuk anak daerah. Kebijakan ini lahir bukan tanpa risiko, tetapi lahir dari kesadaran mendalam bahwa kemajuan suatu daerah tak mungkin terwujud jika generasi lokal hanya jadi penonton.
Apakah Pemda TTS akan berani menempuh jalan serupa? Membangun political will yang kuat agar formasi CPNS berikutnya secara resmi mengalokasikan porsi dominan bagi masyarakat TTS sendiri? Atau kita akan terus menyaksikan pemandangan yang sama, anak daerah terpinggirkan oleh sistem seleksi yang konon “transparan,” tapi tak punya keberpihakan apa pun?
Kalau pemerintah daerah hanya pasrah dan berlindung di balik regulasi nasional tanpa upaya melobi kebijakan khusus atau membuat skema afirmasi lokal, maka apa arti otonomi daerah yang diperjuangkan sejak reformasi?
Kalau Papua saja bisa, apa alasan TTS tidak berani? Atau memang lebih nyaman membiarkan situasi ini terus terjadi, sambil memproduksi pidato manis yang tak pernah menjawab akar masalah pengangguran lokal?
TTS butuh langkah nyata, bukan slogan. Butuh kebijakan keberpihakan, bukan sekadar kebanggaan prosedural. Jika pemerintah daerah tak segera berubah, maka 10 atau 20 tahun mendatang, birokrasi TTS akan menjadi sepenuhnya “asing” di tanah sendiri dan itu adalah kegagalan paling telak dalam sejarah otonomi daerah.
<Marfin>