Lampung Selatan, Penankita.info —Program revitalisasi enam ruang kelas SD Negeri Kerinjing, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, tahun anggaran 2025, menimbulkan persoalan serius. Dua warga desa dilaporkan terjatuh dari atap bangunan sekolah saat melakukan pembongkaran dalam kegiatan gotong royong, Kamis (6/11/2025).
Peristiwa itu terjadi jelang tahap awal pengerjaan proyek rehabilitasi gedung sekolah dengan nilai anggaran Rp736.298.000, yang bersumber dari APBN Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ironisnya, pekerjaan berisiko tinggi itu dilakukan secara manual oleh warga tanpa alat pelindung kerja dan tanpa kehadiran tenaga profesional di lokasi.
Dikonfirmasi di lokasi sekolah, Plt Kepala SDN Kerinjing, Rika Sari Dewi, S.Pd, membenarkan adanya kecelakaan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa tidak terdapat pos anggaran untuk pembongkaran atap gedung dalam dokumen pelaksanaan proyek. Anggaran yang diterima sekolah, kata Rika, hanya mencakup pekerjaan rehabilitasi ruang kelas serta pembangunan toilet dan perabotnya.
“Kalau melihat rincian anggaran, memang tidak ada tertulis untuk biaya pembongkaran. Jadi kami di sekolah berinisiatif, atas saran panitia P2SP, untuk melakukan pembongkaran secara gotong royong bersama masyarakat. Kami pikir tidak masalah, karena waktunya sudah mepet dan sekaligus bisa melibatkan warga agar ikut merasa memiliki sekolah ini.” ujar Rika.
Namun keputusan tersebut justru berujung pada insiden. Dua warga berinisial F dan Y terjatuh dalam waktu berdekatan saat membongkar atap ruang kelas. Akibatnya, F mengalami cedera kaki cukup parah, sementara Y mengalami luka robek di kepala yang memerlukan penanganan medis berupa jahitan.
Meski dua orang warga menjadi korban, tidak ada laporan resmi bahwa kejadian tersebut dikategorikan sebagai kecelakaan kerja. Pihak sekolah beralasan kegiatan itu bersifat sukarela dan dilakukan atas dasar semangat gotong royong.
Yang lebih mengejutkan, Rika justru menilai insiden tersebut dipengaruhi faktor nonteknis atau mistis, bukan akibat kelalaian keselamatan kerja.
“Mungkin karena waktu itu belum sempat minta izin ke penunggu bangunan, jadi ada hal-hal seperti itu,” ujarnya singkat.
Pernyataan tersebut memunculkan kritik tajam terhadap minimnya penerapan prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam pelaksanaan proyek pendidikan yang menggunakan dana negara. Sebab, dalam konteks pekerjaan konstruksi, pembongkaran bangunan seharusnya diawasi oleh tenaga ahli dan memenuhi standar keamanan kerja, bukan diserahkan kepada warga tanpa perlindungan apa pun.
Lebih lanjut, Rika juga mengaku menanggung sendiri biaya konsumsi kegiatan gotong royong sebesar Rp2,5 juta dari dana pribadinya. Hingga kini, ia mengaku belum mengetahui apakah dana tersebut akan diganti oleh pihak desa atau instansi terkait.
“Kalau nanti tidak diganti juga tidak apa-apa, saya anggap sebagai bentuk pengabdian saya kepada sekolah ini,” katanya sambil menggendong anaknya yang masih batita.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral, Rika menuturkan bahwa ia juga menanggung seluruh biaya pengobatan kedua korban, baik medis maupun nonmedis, dengan total pengeluaran hampir Rp2 juta selama dua bulan masa pemulihan. Ia bahkan menawarkan kedua warga tersebut untuk ikut bekerja dalam proyek rehabilitasi sesuai kemampuan mereka, seperti mengecat atau membersihkan sisa material bangunan.
Kejadian ini kembali menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan proyek fisik di lingkungan sekolah negeri, termasuk transparansi anggaran serta kepatuhan terhadap prosedur teknis dan keselamatan. Alih-alih memperbaiki mutu fasilitas pendidikan, proyek yang dibiayai APBN ini justru menimbulkan korban akibat keputusan administratif yang terkesan tergesa dan tanpa perencanaan matang. (Tim)
