masukkan script iklan disini
Lampung Selatan, penakita.info -
Upaya Dinas Perhubungan Kabupaten Lampung Selatan menyelesaikan polemik pengalihan pengelolaan parkir Pasar Inpres Kalianda belum membuahkan hasil. Dua kali mediasi digelar, namun seluruhnya berujung buntu, memperlihatkan lemahnya perencanaan dan ketidaktegasan Dishub dalam menangani konflik yang menyangkut kepentingan publik.
Mediasi pertama dilakukan di kantor Kepala Dinas Perhubungan setempat, menindaklanjuti protes dan penolakan dari pengelola lama dan sejumlah elemen masyarakat terhadap terbitnya Surat Perintah Tugas (SPT) tertanggal 1 Mei 2025 yang menunjuk koordinator baru. Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Kadishub Harrizon ini turut dihadiri Pangeran Adat Tiang Marga (Sai Batin Marga Legun Way Handak) dan pihak kepolisian.
Namun selama tiga jam mediasi berjalan alot tanpa titik temu. Pihak pengelola lama mempertanyakan dasar administratif pengalihan, sementara pengelola baru tetap ngotot mempertahankan SPT yang telah diterbitkan. Dishub tidak mampu memberikan penjelasan transparan, dan justru menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada jalur musyawarah adat.
Musyawarah adat kemudian digelar di kediaman Pangeran Tiang Marga, Desa Kesugihan, Kecamatan Kalianda. Dalam musyawarah tersebut, kedua belah pihak kembali gagal mencapai kesepakatan. Koordinator lama menolak opsi pengelolaan bergilir tiga bulanan, sementara pihak pengelola baru menolak tawaran kompromi, termasuk kontribusi dana dari pengelola sebelumnya.
Kepada media, Kadishub Harrizon menyatakan bahwa Dinas Perhubungan akan mengikuti hasil musyawarah adat sebagai dasar penetapan pengelolaan ke depan. Namun ia tidak menjelaskan secara tegas apakah SPT yang sudah diterbitkan akan tetap berlaku atau dibatalkan.
"Kesimpulan hasil rembukan ini, di bawa ke Tokoh adat untuk mufakat, karena kita ini kan khagom mufakat, jadi apapun hasil dari tokoh adat Pangeran, itu yang diambil kesimpulan, dan kedua pihak harus menerima". Ucap Harrizon.
Sikap ambigu ini memunculkan kritik dari berbagai kalangan. Alih-alih menyelesaikan konflik dengan dasar hukum dan regulasi yang jelas, Dishub justru terkesan melempar tanggung jawab kepada mekanisme adat, tanpa kepastian administratif. Hal ini dianggap menambah kebingungan dan memperpanjang ketegangan antara kedua kubu yang berebut lahan parkir strategis di tengah pusat ekonomi masyarakat Kalianda.
Hingga kini, belum ada keputusan resmi yang mengikat kedua belah pihak. Pengelolaan parkir Pasar Inpres Kalianda pun berada dalam kondisi abu-abu, sementara masyarakat sebagai pengguna jasa harus menanggung dampak dari konflik berkepanjangan ini.
(Septian M)