Malaka, NTT.Pebakita.Info – Kasus dugaan penelantaran pasien bayi berusia dua tahun empat bulan, Rade Qundis Quincha Dos Reis Lopes, asal Desa Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, berujung tragis. Bayi tersebut meninggal dunia setelah diduga terlantar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang.
Di rumah duka di Kamanasa, Baktino Magno Oliveira dan Emiliana Destre Baptista, orang tua Rade, mengungkapkan kesedihan mendalam atas kehilangan putri kesayangan mereka. Keduanya mempertanyakan penanganan yang diberikan RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang terhadap anak mereka.
Kepada awak media pada Rabu, 10 September 2025, Baktino dan Emiliana menceritakan kronologi yang menyebabkan anak mereka diduga terlantar hingga akhirnya meninggal dunia.
"Awalnya anak kami sakit, lalu kami bawa ke Puskesmas Betun untuk diperiksa. Setelah diperiksa, anak kami diberi obat penurun panas dan obat muntah. Namun, karena tidak ada perubahan selama dua hari, kami membawanya ke Rumah Sakit Umum Penyangga Perbatasan Betun pada 28 Agustus, dan langsung menuju IGD," ujar Emiliana.
Di IGD RSUD Betun, Rade ditangani oleh dokter yang kemudian menyarankan rawat inap. "Malam pertama tidak panas. Malam kedua sempat demam dan disuntik serta diberi obat. Beberapa menit kemudian, anak kami kejang-kejang. Setelah kejang-kejang selama dua malam satu hari, anak kami dirujuk ke ruang ICU dan disuntik obat tidur oleh dokter. Di ruang ICU selama lima hari, anak kami tidak sadarkan diri," jelasnya.
Setelah empat hari di ICU RSUD Betun, Baktino meminta dokter menghentikan pemberian obat tidur. Setelah dihentikan, Rade tidak lagi kejang, namun tetap tidak sadarkan diri. Dokter ICU kemudian menyarankan agar Rade dirujuk ke Kupang untuk CT scan otak.
"Setelah sampai di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, langsung dilakukan CT scan kepala di IGD. Dokter menjelaskan bahwa hasil scan menunjukkan tidak ada gangguan saraf, tetapi ada dua warna. Warna hitam menunjukkan kekurangan oksigen di bagian kepala, sedangkan warna abu-abu normal. Dokter memastikan tidak ada gangguan saraf, lalu kami dibawa ke ruang ICU," tutur Emiliana.
Emiliana menambahkan, selama satu malam di ICU RSUD W. Z. Johannes, tidak ada dokter yang memeriksa Rade. Pada Minggu malam, seorang dokter datang hanya untuk meminta buku pink. Selain itu, Rade tidak diberi makan selama berada di RSUD tersebut.
"Pada hari Senin, dari pagi sampai sore tidak diberi makan. Bubur yang disimpan di atas meja dari Senin pagi sampai malam masih tersimpan di atas meja. Tidak ada satu petugas pun yang masuk untuk memberi makan. Bagaimana anak ini kuat kalau tidak diberi makan? Waktu di ruang IGD saja, suami saya harus mengeluh ke petugas untuk bisa memberi makan anak kami, karena kami ini pasien rujukan dari Kabupaten Malaka. Dokter menjawab nanti di ruang ICU baru diberi makan. Pagi hari Senin itu, anak kami hanya diberi susu SGM," ungkapnya.
Emiliana juga menuturkan bahwa selama dua hari di ruang ICU, dari Minggu pagi hingga Senin, tidak ada penanganan berarti yang diberikan. Pada hari Selasa, sebelum Rade meninggal, dokter anak yang seharusnya menangani tidak berada di tempat.
"Di hari Selasa barulah ada tiga perawat dan dua dokter praktik yang menangani anak kami. Mereka hanya memasang oksigen saja dan tidak bisa berbuat banyak. Dokter anak yang seharusnya menangani anak kami tidak ada di tempat, lalu ditelepon katanya sedang di jalan, hingga anak kami menghembuskan napas terakhir," pungkas Emiliana dengan nada sedih.
( marfin)
