Lampung Selatan, Penakita.info –
Konflik lahan antara Ahyat Syukur dan warga Desa Marga Catur, Kecamatan Kalianda, kembali memanas setelah mediasi yang dijadwalkan batal terlaksana. Kedua pihak kini sama-sama melakukan aktivitas bercocok tanam di lahan yang statusnya masih disengketakan.
Perselisihan ini berawal dari klaim Ahyat Syukur atas lahan seluas 44 hektare di Desa Marga Catur. Ia mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 324 PK/Pdt/1993 yang menyatakan lahan tersebut miliknya. Warga menolak klaim ini karena merasa sudah lama menggarap dan bercocok tanam di lokasi tersebut.
Pada awal 2024, Kapolres Lampung Selatan memimpin forum diskusi yang menghasilkan kesepakatan: kedua pihak diminta menghentikan semua aktivitas di lahan hingga ada keputusan hukum final. Namun dalam praktiknya, kesepakatan itu tidak dijalankan. Warga tetap menanam, sementara pihak Ahyat Syukur juga melakukan penanaman dan penebangan pohon kelapa.
Pada awal Agustus 2025, pihak Ahyat Syukur melakukan penanaman di lahan klaimnya. Aksi ini memicu nyaris bentrok dengan warga, tetapi berhasil diredam oleh anggota Polsek Kalianda. Pertemuan mediasi kemudian dijadwalkan di Mapolres Lampung Selatan pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Sehari sebelum jadwal mediasi, Senin 11 Agustus, pihak Ahyat kembali melakukan penanaman tanpa perlawanan warga. Namun pada 12 Agustus, mediasi yang dijanjikan tidak terlaksana. Pihak Ahyat Syukur justru kembali datang menanam pohon dan menebang satu batang kelapa di lahan yang dipersoalkan.
Tindakan ini memicu kemarahan warga. Puluhan orang mendatangi lokasi dengan membawa alat pertanian seperti arit dan golok. Mereka mencabut bibit yang baru ditanam pihak Ahyat. Aparat Polres Lampung Selatan segera turun tangan, mencegah bentrokan, dan membawa perwakilan kedua pihak ke Mapolres untuk perundingan lanjutan.
Salah satu warga, Muslih, mengatakan warga hanya mempertahankan haknya dilahan tersebut yang sudah mengantongi Sertipikat
“Warga merasa punya hak, hanya mempertahankan haknya. Tapi saya berharap tidak sampai ada konflik berdarah karena itu merugikan semua pihak,” ujarnya.
Sementara Iyan, anak Ahyat Syukur, mengungkapkan kekecewaannya terhadap aparat penegak hukum.
“Saya kecewa karena laporan penyorebotan lahan milik kami belum ditindaklanjuti. Akibatnya, warga bebas mengelola lahan yang kami klaim milik kami,” tegasnya.
Kasus ini menunjukkan lemahnya implementasi kesepakatan lapangan dan tidak adanya kejelasan batas lahan yang diakui secara hukum maupun administrasi. Selama belum ada eksekusi putusan pengadilan atau penetapan resmi dari BPN, potensi bentrokan fisik di lapangan akan terus mengintai. (Maulana)