Dengan menembus kemacetan Kota Bekasi menggunakan sepeda motor, dua awak media mendatangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II-A Bulak Kapal, Bekasi, pada pukul 10.30 WIB. Kedatangan tersebut bertujuan mengantarkan berkas kerja sama advertorial, sebuah prosedur resmi yang lazim dilakukan media kepada instansi pemerintah.
Setibanya di pintu masuk, kedua jurnalis disambut oleh petugas jaga. Maksud dan tujuan kedatangan disampaikan secara sopan dan terbuka. Petugas menyatakan akan menyampaikan kepada pihak Humas, sembari meminta awak media menunggu.
Namun, waktu berjalan tanpa kepastian.
Lebih dari satu jam menunggu, tidak ada satu pun perwakilan Humas yang menemui. Saat awak media kembali menanyakan kejelasan, jawaban yang diterima justru terkesan dingin dan tanpa empati.
> “Sabar Pak, yang bersangkutan sedang sibuk memberikan training,” ujar petugas, tanpa kepastian waktu.
Menunggu kembali.
Hingga hampir dua jam berlalu, tetap tidak ada respons, tidak ada konfirmasi, dan tidak ada kejelasan apakah berkas akan diterima atau tidak. Awak media dibiarkan duduk menunggu seolah kehadiran mereka tidak memiliki arti dan kepentingan.
Merasa dipermainkan dan tidak dihargai secara profesional, awak media akhirnya menarik kembali berkas kerja sama yang sebelumnya sempat diserahkan. Dengan penuh kekecewaan, keduanya balik kanan meninggalkan Lapas Bulak Kapal.
Sikap Tertutup dan Minim Penjelasan
Pengalaman pahit tersebut mendorong awak media bertanya kepada salah satu petugas pelayanan tamu kunjungan napi, perihal mengapa pihak Lapas terkesan sangat tertutup terhadap wartawan.
Jawaban yang diterima justru semakin memperjelas buruknya koordinasi internal.
> “Saya nggak tahu, Pak. Silakan tanyakan ke dalam,” jawab petugas singkat.
Tidak ada penjelasan, tidak ada solusi.
Pertanyaan Serius untuk Manajemen Lapas
Pengalaman ini menjadi yang pertama kali dialami oleh awak media, mengingat di berbagai instansi pemerintah lainnya, proses penyampaian kerja sama advertorial diterima dengan baik, direspons cepat, dan dijalankan secara profesional.
Justru di Lapas Kelas II-A Bulak Kapal, pelayanan yang diterima terkesan meremehkan, menyepelekan, dan memandang wartawan sebelah mata.
Publik pun patut bertanya:
Apakah hanya ada satu orang Humas di Lapas Bulak Kapal?
Apakah tidak ada staf lain yang dapat menerima berkas resmi media?
Ataukah ada unsur kesengajaan untuk mengulur waktu dan mempermainkan awak pers?
Mengapa lembaga negara yang seharusnya menjunjung transparansi dan keterbukaan informasi publik justru bersikap tertutup terhadap insan pers?
Catatan Kritis
Pers bukanlah tamu tak diundang. Pers adalah pilar demokrasi, yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sikap abai dan pelayanan buruk terhadap wartawan bukan hanya mencederai etika pelayanan publik, tetapi juga mengirim sinyal buruk tentang keterbukaan institusi.
Ada apa sebenarnya di balik tembok Lapas Kelas II-A Bulak Kapal?
(Jefry)
