Lampung Selatan, Penankita.info – Polemik mencuat di Kabupaten Lampung Selatan setelah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berinisial S.A. dari Fraksi Partai Golkar diketahui merangkap jabatan sebagai Ketua Komite Sekolah di SMP Negeri 1 Kalianda. Praktik rangkap jabatan ini diduga kuat bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Larangan anggota DPRD masuk dalam struktur komite sekolah diatur tegas dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, Pasal 4 ayat (3). Regulasi tersebut menyatakan bahwa anggota Komite Sekolah tidak boleh berasal dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan sekolah bersangkutan, penyelenggara sekolah, perangkat desa, forum koordinasi pimpinan kecamatan maupun daerah, anggota DPRD, serta pejabat pemerintah yang membidangi urusan pendidikan.
Dengan demikian, posisi S.A. sebagai Ketua Komite SMPN 1 Kalianda secara hukum jelas berpotensi melanggar aturan tersebut.
Saat ditemui di kantor DPRD, S.A. yang juga menjabat Ketua Komisi II DPRD Lampung Selatan, tidak membantah statusnya. Ia menegaskan bahwa dirinya memang memimpin komite sekolah tersebut. Menurut pengakuannya,
“Saya memang menjabat sebagai Ketua Komite SMP Negeri 1 Kalianda. Saya dipilih langsung oleh wali murid melalui rapat komite sekolah. Penunjukan itu dilakukan secara terbuka karena saya juga orang tua murid di sekolah tersebut. Selain itu, saya sudah banyak berbuat untuk sekolah dan dianggap mampu menjembatani aspirasi orang tua murid. Jadi, saya menerima amanah itu sebagai bentuk tanggung jawab dan pengabdian.”
Meski demikian, sebagai legislator dua periode, S.A. tentu memahami regulasi yang melarang rangkap jabatan tersebut. Namun S.A. menyampaikan pandangannya terkait aturan yang melarang jabatan tersebut. Ia menilai bahwa selama tujuannya untuk masyarakat, hal itu dapat diterima. “Bagi saya, sepanjang itu untuk kepentingan masyarakat dan membawa manfaat bagi sekolah, seharusnya tidak ada masalah,” tegasnya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas, karena posisi ganda seorang legislator sekaligus ketua komite sekolah rawan menimbulkan konflik kepentingan. DPRD memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi kebijakan daerah, termasuk bidang pendidikan, sehingga peran ganda ini dikhawatirkan mengaburkan batas antara fungsi pengawasan dengan kepentingan pribadi.
Sejumlah kalangan menilai rangkap jabatan ini berpotensi menggerus independensi komite sekolah. Komite yang seharusnya menjadi wadah partisipasi masyarakat bisa kehilangan fungsi kritisnya bila dipimpin oleh figur politik. Hal ini dapat melemahkan transparansi pengelolaan sekolah, terutama terkait penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun pungutan partisipatif dari wali murid.
Selain itu, keberadaan anggota DPRD dalam komite sekolah dianggap mencederai asas keadilan. Jabatan strategis ini seharusnya diberikan kepada tokoh masyarakat atau orang tua murid tanpa ikatan politik, agar komite benar-benar menjadi representasi murni masyarakat.
Hingga kini, baik DPRD Lampung Selatan maupun Dinas Pendidikan setempat belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik ini. Padahal, bila merujuk aturan, dugaan pelanggaran yang dilakukan S.A. bisa memicu kritik publik sekaligus berpotensi menyeretnya ke mekanisme sanksi etik maupun politik melalui Badan Kehormatan (BK) DPRD.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik karena memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap implementasi Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Regulasi yang dirancang untuk menjamin independensi komite sekolah justru berpotensi diabaikan oleh pejabat publik.
Hingga berita ini diturunkan, polemik rangkap jabatan anggota dewan sebagai Ketua Komite Sekolah masih bergulir, sementara publik menunggu langkah tegas dari pihak berwenang untuk menegakkan aturan secara konsisten. (Tim, Maulan)

