masukkan script iklan disini
foto Pemred MataTimor
Opini
Oleh Rhey Natonis : Pemred MataTimor
Timor Tengah Selatan.Penakita.Info-
Mengapa pemerintah daerah harus menjawab pertanyaan DPRD dalam sidang paripurna? Itu pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan jika kita hidup dalam sistem demokrasi yang sehat. Namun, anehnya di Negeri Konoha, setiap kali DPRD membuka ruang tanya-jawab, jawaban pemerintah selalu disuruh datang “secara tertulis” dengan alasan waktu. Waktu siapa? Untuk apa? Apakah transparansi bisa ditunda demi efisiensi rapat
Lalu, kenapa ruang paripurna jadi panggung sunyi? Pertanyaan dilempar dengan menyeramkan, tapi jawabannya justru disuruh mengendap di tumpukan kertas yang tak pernah dibaca rakyat. Di sinilah kita bisa membedakan: siapa yang teriak tapi tak bersuara, siapa yang bungkam tapi berbisik. Demokrasi pun kehilangan nyawa karena sepakat untuk diam diam yang rapi dan nyaman di atas panggung politik.
Kita sudah terlalu sering melihat sandiwara ini. DPRD tampak kritis di depan mikrofon dan kamera, mengeluarkan pernyataan tajam di media, seolah menjadi penyambung lidah rakyat. Tapi ketika sampai pada jawaban, mereka menyetujui diam. Mengapa harus dibatasi? Apa yang hendak disembunyikan?
Wartawan berdiri sejak awal sidang, mencatat, merekam, menanti arah. Tapi apa yang didapat? Jawaban pemerintah tidak dibacakan. Tidak dibuka. Tidak disampaikan. Maka lahirlah berita yang menggantung. Bisu. Wartawan dipaksa menulis bayangan dari suara yang tidak pernah muncul.
Apakah ini bentuk baru dari pembungkaman? Sebuah strategi halus dari DPRD untuk menutup mulut anggota-anggotanya sendiri yang kritis? Jika ya, maka itu bukan hanya preseden buruk, tapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Rakyat awam, yang menyerahkan mandat dengan penuh harap, justru dibuat menjadi penonton bisu. Kebutuhan mereka tak dijawab, bahkan tak dibicarakan. Keadilan untuk siapa?
Haruskah yang duduk berdasi di kursi panas itu terus merasa nyaman dalam senyap?
Ataukah mereka sedang merenung dalam-dalam, bertanya dalam hati, "Kenapa diam itu terasa lebih aman?"
Atau sebenarnya, "Apakah ribut itu justru suara rakyat?"
Jika DPRD memilih untuk menyederhanakan pertanyaan menjadi lembar-lembar jawaban tertulis yang tidak pernah dibuka di ruang sidang, maka jangan heran jika rakyat suatu hari memilih untuk berteriak di luar gedung.