Lampung Selatan, Penakita.info
- Keberhasilan Balai Karantina Lampung dalam menggagalkan penyelundupan 668 ekor burung liar di Pelabuhan Bakauheni patut apresiasi, namun bukan tanpa catatan. Di balik aksi pengamanan itu, publik justru disuguhi drama lama: burung disita, pelaku tak jelas, penindakan hukum abu-abu.
Tak ada informasi pasti mengenai siapa pemilik satwa, apakah pelaku ikut dalam bus, atau sekadar menitipkan lewat paket. Tak ada pula keterangan resmi terkait status hukumnya. Yang ada hanyalah jawaban singkat dan normatif dari pejabat karantina, seolah masalah bisa dianggap selesai hanya dengan merilis jumlah burung dan tujuan pengiriman.
Inilah pola yang berulang—dan melelahkan. Pengungkapan yang hanya separuh jalan akan terus menumbuhkan persepsi publik bahwa kejahatan terhadap satwa liar kerap berakhir tanpa keadilan. Apakah kita hanya menangkap burung, bukan jaringannya?
Minimnya transparansi dari institusi negara bukan sekadar kelalaian komunikasi. Ini adalah bentuk kegagalan tanggung jawab. Dalam kasus seperti ini, publik berhak tahu siapa pelakunya, bagaimana modusnya, dan seperti apa penegakan hukumnya.
Penyelundupan satwa liar adalah kejahatan lintas wilayah yang berdampak serius terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat. Jika pelaku terus dilindungi oleh kabut informasi, maka penggagalan seperti ini hanya akan menjadi rutinitas tanpa makna—pencitraan yang hampa dari keadilan lingkungan.
Kami menyerukan agar Balai Karantina Lampung menghentikan praktik bungkam informasi dan segera membuka ke publik proses penindakan kasus ini secara utuh. Jika tidak, kepercayaan masyarakat akan semakin tergerus, dan para penyelundup akan terus leluasa karena tahu, burungnya mungkin ditangkap—tapi mereka tidak.
Sebagai media independen, kami percaya bahwa tugas jurnalisme bukan hanya memberitakan peristiwa, tapi juga mendorong agar setiap tindakan penegakan hukum benar-benar berpihak pada keadilan lingkungan dan kepentingan publik.
OPINI REDAKSI (Maulana)